Sejarah Bundengan Alat musik Bundengan


SEJARAH BUNDENGAN
Oleh: Agus Wuryanto

Dawai dan Bandulan Pada Instrumen Bundengan
(Foto oleh : Tiyar 2017)
Anda pernah mendengar irama musik Bundengan?. Bundengan adalah alat musik tradisional yang keberadaannya sudah sangat langka. Alat ini terbuat dari kerangka welat bambu tebal yang dianyam dan bagian luarnya dilapisi dengan Slumpring( pelepah batang bambu )  dan diikat dengan menggunakan tali ijuk. Bundengan ini oleh masyarakat lebih dikenal dengan sebutan Koangan, yang dahulu fungsi pokoknya selain sebagai alat musik adalah sebagai alat berteduh (tudung), Alat ini banyak digunakan oleh para petani dan para penggembala Itik. Meskipun tergolong alat musik petik, tetapi suara yang ditimbulka nmirip dengan suara bunyi ketukan gending beserta kendangannya, bahkan bebera pakalangan seniman menyebutkan bahwa irama musik Bundengan yang dimainkan oleh ahlinya bisa mewaki liirama seperangkat gamelan.
Selain fungsi awalnya sebagai pengiring pertunjukkan wayang kulit gaya Kedudan musik hiburan rakyat, kini Bundengan juga berfungsi sebagai pengiring tari Topeng Lenggeran,  pengiring lantunan tembang dolanan anak, dan pertunjukkan lain. Adapun penyajian seni Bundengan ini biasanya dilaksanakan pada saat ada acara adat, seperti merdidesa, berbagai hajad seperti sunatan,pernikahan, potong rambut gimbal, atau pada acara resmi pemerintah utamanya pada saat ada perayaan hari besar nasional atau sebagai duta budaya kedaerah lain.
Musik bundengan sebenarnya bukanlah musik yang baru, melainkan sebuah alat musik yang telah berumur cukup tua. Hal Ini bisa dibuktikan dengan sebuah tulisan dalam kitab Wreta Sancaya,   yang dibuat sekitar abad 12 , yaitu pada  bait 93, Sekar Mandraka menyebutkan ;       “ Lwirma wayang taheng atin ikang wukir kineliran himaranga nipis/ bumbung ikang petung kapawanan, yateka tudung anja munyarangin/peksi ketursal unding anikaking syanipa mangsuling kidang alon/madraka Sabdaning mrakala ngosawang pangidungn yamang rasih ati” yang artinya menurut Prof. Dr. H. Kern “Ketika itu semua Nampak berujud gunung-gunung demikian; semua pepohonan seperti wayang dengan mega-mega yang mengawang menutupi , seperti layar, bambu yang berlobang (seruling) tertiup angin seumpama tudungan (koangan ) yang bersuara sayup-sayup, suara burung puyuh seperti suara saron ditingkah bunyi menguak kijang sayup-sayup di pendengaran, sedangkan kicau burung merak yang bercengkerama bagai berkidung tembang madraka”. Dan menurut Prof. Dr. H. Kern, apa yang disebut Tudung itu adalah tetabuhan untuk wayang. Sedang dalam pengertian jawa, Tudung adalah penutup kepala, yang biasa disebut Bundengan atau Koangan, yang berfungsi juga untuk tetabuhan.
Lalu bagaimana musik ini bisa berkembang di Kabupaten Wonosobo?. Menurut penuturan beberapa sesepuh, padatahun 50-an ada seorang seniman Bundengan yang sangat dikenal oleh masyarakat Sapuran dan sekitarnya,  yang bernamambah Ahmad Ilyas.  KononMbah Ahmad Ilyas mendapatkan kemampuan bermain bundengan dari leluhurnya yaitu Mbah kyai Amir Hamzah dan Mbah Amir Hamzah adalah anak keturunan dari mbah Kyai Surung, yang makamnya jadi pepunden di daerah Njubuk, yang sekarang dinamai desa Merapi, dekat pabrik The Tanjungsari. Almarhum Mbah Surunglah yang diperkirakan sebagai tokoh yang pertama kali membawa musik Bundengan hingga berkembang di wilayah Wonosobo. Oleh bebera pakalangan tetua yang memahami dunia spiritual, diyakini  di punden makam Mbah Kyai Surung masih sesekali terlihat ada pusaka berwujud Bundengan atau Koangan, meskipun begitu hingga saat ini belum terungkap sejarah lebih lanjut tentang jati diri Mbah Kyai Surung, masyarakat hanya mengenal petilasannya sebagai makam Budho ( kuno ).
Dari sinilah diperkirakan musik Bundengan ini kemudian menyebar di beberapa daerah di wilayah Wonosobo terutama di sekitar kec.Sapuran, Kec. Kertek dan Kec.Kalikajar, hingga memunculkan beberapa nama seniman Bundengan seperti mbah Damir idari desa Ngabean Pringapus. Mbah Damiri menurunkan keahliannya kepada putra-putranya yaitu bapak Barnawi( Alm ) dan adik kandungnya Bapak Munir. Bapak Barnawi inilah yang kemudian merombak perlengkapan instrument musiknya yang semula menggunakan dawa iijuk diganti dengan semacam senar, sementara pembuatan tudung Koangannya dipesankan pada Mbah Mahrumi dari desa Sibenda, Kec. Kertek. Pak Barnawi juga menjadi seniman pelopor yang intens memperkenalkan musik bundengan keluar daerah, antara lain pernah Menampilkan keahliannya dengan bermain musik ini di Taman Mini Indonesia Indah (Jakarta), Bentara budaya(jogja), Lengkong Cilik (Semarang), Kampung Seni Blumbang Garing Nitiprayan (Bantul), Kampung Seni Lerep (Ungaran) dan termasuk berkolaborasi dengan mahasiswa musik dari ISI Yogyakarta.
Bapak Barnawi meninggal pada 2012, tanpa sempat mendapat tanda jasa dari pemerintah, setelah sebelumnya cukup lama menderita sakit ginjal akut. Namun sebelum beliau dipanggil yang Yang Maha Kuasa, beliau sempat menurunkan keahliannya kepada dua muridya itu Sundiyah anak putrid beliau yang tinggal di desa Ngabean, Kec Kalikajar, dan Hengky Krisnawan, seorang seniman dari desa Sruni, Kec. wonosobo. Sedang Pak Munir, adik kandung Pak Barnawi, sampai saat ini juga masih aktif bermain Bundengan, berpasangan dengan pak Buchori yang dahulu merupakan partner dari pak Barnawi (Alm). Adapun selain PakMunir, maka Hengky dan Sundiyah. Merupakan generasi termuda dari para seniman Bundengan atau Koangan yang masih bisa ditemukan di Kabupaten Wonosobo.




Komentar

Postingan Populer