Sejarah Seni Grafis

Sejarah Seni Grafis

Oleh: Buku Modul UNY

Foto Tiyar 2018 
Seni grafis adalah cabang seni rupa murni yang proses pembuatan karyanya menggunakan teknik cetak, biasanya di atas kertas. Kecuali pada teknik Monotype, prosesnya mampu menciptakan salinan karya yang sama dalam jumlah banyak, ini yang disebut dengan proses cetak. Tiap salinan karya dikenal sebagai '’impression’'. Tiap-tiap hasil cetakan biasanya dianggap sebagai karya seni orisinil, bukan sebuah salinan. Karya-karya yang dicetak dari sebuah plat menciptakan sebuah edisi, pada masa seni rupa modern masing-masing karya ditandatangani dan diberi nomor untuk menandai bahwa karya tersebut adalah edisi terbatas.
Seni Grafis, sama seperti cabang seni rupa lainnya, adalah secara sadar menggunakan keterampilan dan imajinasi kreatif untuk menciptakan objek-objek estetik. Ditinjau dari etimologi kata, seni grafis diterjemahkan dari kata printmaking yang berasal dari bahasa Inggris. Seni grafis mencakup beberapa teknik yang terus berkembang seiring perkembangan jaman dan kemajuan teknologi. Teknik grafis secara garis besar dapat dikategorikan menjadi empat teknik utama, yakni cetak tinggi (relief), cetak dalam (intaglio), cetak datar (lithography), dan cetak saring (silkscreen print). Karena pada prinsipnya seni grafis selalu mengikuti perkembangan teknologi cetak, dewasa ini teknik cetak mutakhir seperti digital print, chemical print, dan beberapa teknik lainnya kemudian diterima sebagai karya grafis oleh medan sosial seni.
Seni grafis adalah cabang seni yang memberikan banyak ruang eksploratif yang dapat dimanfaatkan seniman untuk mencapai sebuah pencapaian estetik tertentu yang memliki karakter yang khas. Kematangan sebuah karya seni (grafis) dapat dinilai dari kualitas eksplorasi teknis sang seniman dan ide yang ditampakkan. Penjelajahan kedua aspek tersebut kemudian menjadi lebur dan tertuang dalam sebuah karya grafis. Sebagai contoh, cetakan ukiyo-e 36 Pemandangan Gunung Fuji oleh Hokussai, yang dikerjakan pada tahun 1823 – 1831, menggambarkan sebuah karya grafis penuh yang sampai sekarang masih diperhitungkan eksistensinya. Karya series ini masih dianggap sebagai sebuah adikarya yang memperlihatkan kematangan penjelejahan ide dan teknis, juga kualitas kontemplasi dari sang seniman yang dengan konsisten mengeram karya ini, dengan pendekatan historis budaya pada masanya tentunya.
Pada mulanya seni grafis mulai berkembang di negara Cina. pada negara tersebut seni grafis digunakan untuk menggandakan tulisan-tulisan keagamaan. Naskah-naskah tersebut ditatah atau diukir di atas bidang kayu dan di cetak di atas kertas. Cina menemukan kertas dan memproduksinya secara massal di tahun 105. pada masa itu Cina di bawah pemerintahan Dinasti Yi.
Karya-karya seni grafis dengan media kayu (cukilan kayu) ditemukan di negara-negara Asia yang memiliki kultur tua dan kuat seperti Cina, Jepang, dan Korea. Bangsa romawi pun telah mengenal teknik cetak ini yang digunakan untuk menghias jubah-jubah dengan cetak stempel. Teknik cetak ini kurang berkembang karena bangsa Eropa tidak mengenal kertas. Teknik grafis di Eropa baru berkembang di abad ke - 13, dengan ditemukannya mesin cetak oleh Johannes Guttenberg (1400–1468) dari Jerman. Sejak itulah seni grafis dengan beragam teknik berkembang di Eropa.
Sejarah Seni Grafis di Indonesia
Seni grafis, bersamaan dengan cabang seni lainnya, hadir di Indonesia berkat digalakannya kolonialisasi. Pada masa pendudukan Belanda, pemerintahannya pernah menunjuk beberapa seniman untuk melakukan studi landscape di Indonesia guna merekam eksotisme negara ini yang kemudian dituangkan dalam karya lukisan yang berkesan romantis dan beberapa teknik cetak seperti wood engraving dan lithography. Karena memang pada masa ini seni rupa Barat sedang merayakan romantisme yang kajian visualnya seringkali ditujukan pada landscape dan peristiwa heroik, yang dikenal dengan istilah ‘mooi indie’, atau hindia yang cantik. Berangkat dari itulah seni grafis mulai diperkenakan secara tidak langsung kepada rakyat Indonesia. Penguasaan teknik cetak pun bukan dari akademi, namun sebatas dari obrolan dan interaksi dengan orang asing.
Sampai sekitar tahun 2000-an, seni grafis masih dianggap seni kelas dua, dan seni pinggiran, problematika ini lahir dari berbagai macam aspek yang saling mengakumulasi satu sama lain. Seperti yang telah diceritakan sebelumnya, seni grafis amatlah bergantung pada proses yang bersifat amat teknis. Keterbatasan dan kelangkaan alat dan mesin cetaklah yang dikambinghitamkan oleh para seniman grafis yang dengan terpaksa mesti ‘melacur’ ke cabang seni lainnya, atau bahkan menggeluti bidang yang amat jauh dari kajian seni grafis. Keptusasaan ini memang bukanlah tanpa sebab, minimnya mesin dan alat-alat pendukung dalam membuat sebuah karya grafis seringkali meredam hasrat berkarya dan memuaskan keinginan bereksplorasi para seniman grafis. Krisis ini pun bahkan dialami oleh institusi akademi  seni di Indonesia. Tercatat bahwa hanya Institut Teknologi Bandung yang mampu menyediakan mesin cetak dan alat-alat pendukung untuk teknik cetak tinggi, cetak rendah, cetak datar, dan cetak saring yang dianggap memadai.
Minimnya mesin cetak yang tersedia di Indonesia memang disebabkan oleh mahalnya biaya pengadaan mesin dan kelangkaan akses dalam meraihnya. Bahkan beberapa alat dan bahan pendukung pun seringkali harus didatangkan langsung dari Jerman, negeri dimana seni grafis lahir dan berkembang.
Meskipun demikian, seni grafis pernah dianggap sebagai cabang seni yang ikut berjasa bagi kehidupan kenegaraan Indonesia, dengan mengirim karya-karya grafis ke luar negri pada perayaan tahun pertama kemerdekaan Indonesia, 1946, sebagai upaya memeberi kesan bahwa Indonesia adalah negara yang berbudaya, meski baru satu tahun merdeka. Perkembangan seni grafis pada awal kemerdekaan Indonesia dinilai sebagai tenggat waktu eksplorasi para seniman untuk mendalami dan menyerap ilmu mengenai teknik cetak grafis. Nampak pada beberapa karya grafis Mochtar Apin, Sudjana Kerton, dan Poppo Iskandar yang menekuni studi visual menggunakan teknik cetak, baik dalam pendekatan naturalis maupun abstraksi yang merebak luas di dunia.
Barulah pada tahun 1970-1980, seni grafis mulai muncul ke permukaan dengan hadir pada pameran seni grafis yang mandiri. Seperti pada pameran ‘Seni Grafis Bandung’ yang menampilkan karya-karya Mochtar Apin, Haryadi Suadi, A.D. Pirous, dan Kaboel Soeadi, yang dipamerkan di tiga kota, yakni Bandung, Surabaya, dan Jakarta. Dua tahun setelahnya, lahirlah kelompok grafis Decenta yang beranggotakan Pirous, Sunaryo, Sutanto, G. Siddharta, Priyanto, dan Dudi Kusnidar yang mendalami teknik serigrafi yang kala itu sedang berkembang didukung laju perkembangan industri garmen. Beberapa anggota kelompok ini kemudian mulai menggeluti desain grafis karena kecenderungan karya sablon yang mampu dicetak dan direproduksi dalam kaos mulai digemari masyarakat. beberapa darinya seara professional menjadi desainer grafis dan kemudian mengembangkan akademi desain grafis di Indonesia.
Menjelang akhir 1990-an, konsepsi baru seni global yang diberi tajuk postmodernisme yang digalakan sampai sekarang ini membawa arus perubahan dan kebaruan yang radikal dan kritis pada seni rupa Indonesia, tidak terlepas seni grafis. Penyampaian idea yang dimiliki seiman pada karya dituangkan pada media dan material yang dianggap tidak lazim pada masanya. Seperti lahirnya performance art, instalasi, dan media lainnya yang unik dan mengundang kontroversi. Seperti pada Bienalle IX Jogja yang sebagian besar karyanya merayakan kehadiran postmodernism dengan menjatuhkan pilihan pada instalasi. Meskipun begitu, seniman grafis tetap mencoba memadukan teknik grafis dengan media asing yang dinamai instalasi, sepreti yang dilakukan Marida Nasution pada pameran ‘Taman Plastik’, Tisna Sanjaya dengan instalasinya yang berjudul ‘Seni Grafis dan Sepakbola’, dan beberapa seniman lainnya yang mencoba tetap menyisipkan corak seni grafis yang membentuk proses penciptaan karyanya bersanding dengan arus deras kritisisme postmodernism.
Lebih jauh lagi, eksplorasi media seni grafis kian berkembang didukung oleh laju perkembangan teknologi yang kian pesat juga. Teknologi-teknologi grafis mutakhir pun seperti c-print, digital print, dll mulai dipertanyakan konvensinya. Beberapa pihak mencoba untuk mengamini hal tersebut, namun banyak pihak yang ‘keukeuh’ menyuarakan seni grafis konvensional lebih bernilai daripada seni grafis dengan media cetak mutakhir, dengan anggapan terlalu mudahanya reproduksi yang ditawarkan media cetak baru yang disokong teknologi sehingga dianggap makin menjauhkan dan membei jarak seniman dari karyanya. Namun kalangan postmodernism yang ekletis beranggapan bahwa penciptaan karya seni tidak lagi dibatasi pada konvensinya, namun sejauh apa seniman mampu mempertanggung jawabkan pemilihan penuangan ide karya pada jenis media.

Teknik Pembuatan Karya Seni Grafis

Contoh hasil karya cetak tinggi teknik reduksi
karya tiyar 2018
1.   Cetak Tinggi
Cetak tinggi adalah cara membuat acuan cetak dengan membentuk gambar pada permukaan media cetak secara timbul. Contoh yang paling sederhana dari teknik ini adalah stempel atau cap. Media yang umum digunakan untuk membuat cetak tinggi adalah kayu lapis/tripleks, hardboard, metal, karet (linoleum), dan papan kayu.
Ada pula seniman (grafikus) yang menggunakan media teknik cetak tinggi untuk membuat karyanya. Mereka adalah Albrecht Durer, L. Granach, H. Holbein, HB. Grien (Jerman), Kastuhista Hokusai,Ando Hirosige (Jepang). Adapun grafikus Indonesia yang menggunakan cetak tinggi dalam berkarya antara lain Kaboel Suadi, Edi Sunaryo, dan Andang Supriadi.
Dari teknik woodcut tadi, dikembangkan lagi menjadi teknik wood engraving. Teknik wood engraving berkembang dari teknik woodcut atau woodblock atau cukil kayu yang pertama kali digunakan di Cina pada abad ke-2. Keunggulan wood engraving dibanding woodblock awal adalah hasil cetaknya yang mampu menghasilkan garis-garis halus dan tipis untuk menampilkan detail dibandingkan woodblock yang menampilkan bidang bidang warna yang terkesan tebal dan solid. Teknik pembuatan wood engraving mirip dengan woodblock, yaitu menciptakan kedalaman dengan memotong permukaan kayu sehingga bagian yang terpotong dan cekung ke dalam permukaan tidak dikenai tinta saat tinta diaplikasikan (menggunakan roller). Perbedaan utama antara wood engraving dan woodblock adalah teknik dan penggunaan alat, yakni penggunaan burin, pisau sangat tajam yang cenderung berukuran lebih kecil daripada alat cukil kayu yang biasa digunakan. Perbedaan lainnya adalah pemilihan kayu yang khusus, yakni potongan/lembaran-lembaran kayu yang dipotong secara melintang (horizontal), juga ketebalan matriks yang cenderung lebih tebal.
Wood engraving pada awalnya digunakan untuk membuat produk-produk cetak berjumlah banyak, misalnya ilustrasi buku cerita, ilustrasi-ilustrai kitab injil, dll. Kayu yang tebal lebih tahan lama dan bisa dicetak berkali-kali tanpa mengalami penurunan kualitas dalam waktu singkat seperti logam tipis pada plat intaglio yang akan mengalami penurunan kualitas setelah beberapa kali cetak tergantung pada jenis matriks yang digunakan, sehingga satu plat wood engraving mampu menghasilkan lebih banyak edisi dibandingkan intaglio. Wood engraving termasuk teknik grafis paling populer selama masa revolusi industri di Barat.
2.   Cetak Dalam (Intaglio)
Teknik cetak dalam adalah salah satu teknik seni grafis dengan menggunakan acuan cetak dari logam tembaga. Teknik pembuatan cetak dalam yaitu dengan ditoreh atau digores langsung. Ada pula yang menggunakan larutan senyawa asam nitrit yang bersifat korosif terhadap logam tembaga. Seni grafis cetak dalam terbagi ke dalam beberapa bagian, yaitu drypoint, dan etching/etsa.
Teknik ini ditemukan oleh seorang seniman Jerman selatan pada abad ke-15 Masehi yang memiliki julukan Housebook Master. Semua karya yang beliau hasilkan menggunakan teknik drypoint. Beberapa seniman dunia yang menggunakan teknik ini adalah Albrecht Durer dan Rembrandt.

a.   Drypoint
Dry point termasuk pada salah satu teknik intaglio atau cetak dalam. Dibuat dengan cara menggoreskan alat tajam seperti paku langsung ke atas matriks logam, misalnya paku atau jarum di atas plat logam untuk menghasilkan goresan yang masuk ke dalam permukaan plat logam. Goresan yang terbentuk dalam permukaan logam kemudianakan menampung dan memerangkap tinta saat proses wiping atau pengusapan tinta di atas plat. Agar tinta yang masuk ke dalam goresan jarum dapat berpindah ke kertas, kertas harus dilembabkan terlebih dahulu.
b.   Etching/Etsa
Etching atau etsa dalam bahasa Indonesia adalah salah satu anggota keluarga dari teknik intaglio atau cetak dalam. Goresan di atas permukaan plat logam dibuat dengan menggunakan bantuan asam yang bersifat korosif dan mampu mengikis plat. Plat dibubuhi dengan bahan tahan asam yang biasa disebut porses masking menggunakan aspal, kemudian bahan tersebut dikeruk atau dihilangkan dari permukaan logam sehingga bagian yang akan hendak menjadi bidang gambar dapat bereaksi dengan  asam, mampu menjadi cerukan-cerukan mikroskopis yang mampu menyimpan tinta. Plat yang telah digambar kemudian dicelupkan atau dikenai larutan asam sehingga badian plat logam yang tidak tertutup akan terkikis dari dan menghasilkan lubang atau permukaan yang masuk ke dalam, kemudian, proses pencetakannya ke kertas serupa dengan teknik drypoint.
3.   Cetak Datar (Lithography)
Cetak datar atau biasa disebut Lithography dalam bahasa seni grafis,  berasal dari bahasa Yunani, yaitu lithos yang berarti batu dan graphien yang berarti menulis. Lithography merupakan salah satu teknik cetak datar menggunakan batu sejenis marmer yang lebih dikenal dengan istilah limestone. Lithography termasuk pada golongan cetak datar. Teknik ini dibuat dengan mengaplikasikan zat tahan air yang biasanya mengandung lemak atau minyak sebagai permukaan positif atau bagian yang akan menampilkan gambar pada hasil cetakan dan zat yang mampu menyerap air pada bagian negatifnya. Pada bagian negatif, tinta tidak akan terserap dan hanya menempel pada bagian positif sehingga tidak akan tercetak di permukaan kertas. Lithography modern memiliki banyak perkembangan variasi seperti nanolithography, microlithography, seriolithography, dan sebagainya.
Teknik ini merupakan nenek moyang dari teknik cetak offset yang dewasa ini diaplikasikan untuk menghasilkan cetakan-cetakan yang amat akrab bagi masyarakat awam. Teknik offset menggunakan film-film dengan matriks alumunium yang kemudian menggunakan teknik separasi untuk menghasilkan beragam warna.
Seniman yang menggunakan teknik ini antara lain George Bellows, Pierre Bonnard, Honoré Daumier, M.C. Escher, Ellsworth Kelly, Willem de Kooning, Joan Miró, Edvard Munch, Emil Nolde, Pablo Picasso, Odilon Redon, Henri de Toulouse-Lautrec, dan Stow Wengenroth.
4.   Cetak Saring (Silkscreen Print)
Cetak saring atau silkscreen print atau biasa dikenal dengan sebutan sablon di Indonesia adalah salah satu teknik cetak saring atau serigrafi. Istilah sablon adalah serapan dari bahasa Belanda, yakni schablon. Alat utama yang digunakan dalam teknik ini adalah screen atau layar yang terbuat dari tenunan benang dengan kerapatan tertentu. Proses pengerjaannya terdiri dari beberapa tahapan, yakni pertama membubuhkan zat kimia peka cahaya ke atas screen yang kemudian dilunturkan dengan bantuan cahaya yang diproyeksikan melalui gambar yang dicetak diatas kertas transparan sebagai acuan cetak. Setelah gambar terbentuk di atas screen, zat kimia yang luruh tersebut dibersihkan, sehingga bagian yang tidak ditutup dengan gambar tetap menyisakan zat kimia di atas screen. Bagian yang tertutup zat kimia tersebut tidak akan dilalui oleh tinta saat dicetak sehingga menjadi bagian negatif, sedangkan bagian yang tertutup gambar menyebabkan zat kimia tidak mengeras di atas screen sehingga bagian tersebut tidak tertutup dan dapat dilalui oleh tinta. Alat yang digunakan untuk mencetak disebut rakel atau squeegee.
Keistimewaan sablon dibandingkan teknik grafis lainnya, yaitu mudah diaplikasikan di berbagai material, tidak hanya kertas, namun juga biasa digunakan di atas kain, plastik, logam atau bahan-bahan lunak maupun keras lainnya.
Seniman yang menggunakan teknik cetak saring dalam menghasilkan karya seni antara lain Josef Albers, Chuck Close, Ralston Crawford, Robert Indiana, Roy Lichtenstein, Julian Opie, Robert Rauschenberg, Bridget Riley, Edward Ruscha, dan Andy Warhol.
Ada pula teknik yang kerap digunakan para grafikus, yaitu teknik monotype adalah satu teknik pemindahan gambar dari plat ke kertas. Namun, karena plat tidak dilukai / ditoreh, ketika gambar berpindah dari plat ke kertas, gambar yang telah dicetak akan meninggalkan plat dan tidak akan menghasilkan imej yang sama persis seperti plat-plat dalam teknik grafis lainnya, Sehingga hanya mampu menghasilkan satu hasil karya cetak yang otentik. Misalnya dengan mengaplikasikan tinta atau cat di atas permukaan akrilik atau kaca dan dicetak sehingga saat tinta atau cat berpindah ke kertas, pola sebelumnya tidak akan tertinggal di atas plat.
Sedangkan monoprint berarti satu cetakan, yaitu hasil cetakan seni grafis yang sengaja hanya dicetak satu, apapun jenis plat atau teknik yang digunakan. Seniman membuat monoprint cenderung bertujuan melawan konvensi cetak grafis yang mengutamakan edisi beberapa cetakan identik dalam jumlah tertentu.Seniman monoprint pun cenderung memiliki kebutuhannya tersendiri mengenai keunikan satu edisi cetak.

Komentar

Postingan Populer