Menatap Nada Bundengan

Menatap Nada Bundengan
Oleh A. Thoyib Norcahyo

Seni grafis atau cetak rusak sebagai pilihan, berasal dari bahasa Yunani yaitu graphen yang berarti menulis atau menggambar, penggubahan gambar bebas perupa melalui proses cetak manual dengan salah satu medianya adalah hardboar. Di Indonesia semula seni grafis dianggap sama dengan seni lukis dan seiring berjalannya waktu seni grafis memiliki kursi tersendiri pada jajaran seni murni. Pada tahun 1970-an hasil cetakan manual tergolong sebagai bagian yang sah dalam konvensi seni grafis di Indonesia mendapat pengakuan seni grafis diakui. Seni grafis tergolong dalambagian dari seni murni dua dimensional dan dilahirkan melalui proses cetak manual. Kelebihan dari seni grafis itu sendiri ialah langsung pada karya yang dapat dilipat gandakan tanpa mengurangi nilai orisinalitasnya tiap cetakan. Dengan edisi sebagai sebuah tanda atau ukuran yang identik pada masing-masing cetakan, kadang kali menggunakan nomor, nama atau tanda tangan ditulis berdasarkan ketentuan yang dibuat olehseniman/pegrafis menggunakan pensil, biasanya dua nomor tertentu ditulis pada bagian bawah tepi hasil tiap cetakan, seperti 1/5 atau cetakan pertama dari 5 edisi cetak. Selain itu biasanya juga menyantumkan certificate of authenticity sebagai informasi tambahan bagi kolektor yang biasanya berisi tentang jumlah total edisi, nomor cetakan, studio tempat pencetakan dan nama pencetaknya (bila proses pencetakan dibantu), waktu pencetakan, dan informasi teknik.
Mengalami kehidupan masa kecil di Wonosbo dengan segala kearifan lokal dilingkungan sekitarnya, Tiyar mencoba membaca ulang apa yang sempat menjadi nostalgia pada sebuah benda, sebuah benda multi fungsi! Familiar digunakan sebagai pengahalau terik pun hujan oleh para sontoloyo (penggembala bebek) berbentuk seperti tudung namun memiliki ukuran yang lebih besar. Berbahan baku bambu,  yang dianyam Kemudian dilakukan modifikasi untuk menambahkan ijuk sebagai dawai, tidak bertahan lama maka ijuk diganti menggunakan senar raket badminton. Tangan kiri untuk memainkan kendang sebagai instrumen yang berupa tiga bilah potongan bambu dibentuk sedemikian rupa yang diselipkan pada bagian dalam Bundengan dan tangan kanan memainkan dawai. Nada-nada ritmis terlukis pada angin dan udara. Aktivitas yang semula sebagai hiburan personal kemudian dikawinkan sebuah pertunjukan tarian. Tiyar menceritakan bahwa benda itu bernama Bundengan.Perpaduan triologi antara manusia, hewan dan lestari alam pada Bundengan ini begitu romantis.
Tidak banyak orang yang tahu begitu pula yang menekuni perihal Bundengan ini, kata-kata tersebut aku anggap sebagai simbol ekspresi kegelisahan yang justru membakar semangat untuk mengangkat Bundegan sebagai jeritannya kepada seni grafis.
diawali dengan membuat sketsa pada kertas, memindah sketsa pada media hardboarddilakukan menggunakan pensil dan dipertebal menggunakan spidol marker. Proses selanjutnya yaitu membuat detail dengan menggunakan mata pisau cukil berbentuk V dan U. Langkah berikutnya mencetak klise diatas kertas”
Jelas Tiyar dalam menerangkan proses pembuatannya.Memang belum pernah melihat Bundengan ataupun pertunjukan tari Sontoloyo pun tari Punjen secara langsung, namun tatkala mata ini menatap karya-karya yang ditunjukan sembari mengiringi dengan isi cerita berkelanjutan tiap-tiap karya oleh Tiyar, seperti sedang menyaksikan goresan khas Vincent Van Gogh dalam Loving Vincent yang disutradari oleh Dorota Kobeila dan Hugh welchman namun dalam cerita Bundengan versi Tiyar sendiri. Sering kali Tiyar menghadirkan dirinya sendiri pada tiap-tiap karya cetak rusaknya ini, sedikit sentuhan penggayaan stilisasi ia tanamankan. Memainkan opini imajinasi penikmat secara liar dalam kondisi keliarannya masing-masing. Tiga belas karya ia suguhkan guna memanjakan tiap mata yang dahaga akan kisah Bundengan, bagaimana tidak? Tiyar mengahdirkan Warna-warna kontras berkesan suasana manis begitu terasa lembut diam-diam menentramkan jiwa namun enggan menjadi tua! Begitupun enggan rasanya untuk membandingkan karya atau seniman lain dalam tulisan ini karena hanya ingin menikmati karya Tiyar, secara mata dan kepala telanjang melepaskan batasan-batasan dengan lapang.
Bagaimanapun juga, Selamat berpameran AkhmadKhikmahtiyar Akmal atau yang biasa dipanggil dengan sebutan Tiyar, mendekati toga pada studi yang dilakukan diPendidikan seni Rupa FBS UNY. Memparipurnakan diri dunia perkuliahannya dengan menggelar sebuah hajatan pameran tunggal sekaligus tugas akhir karya seni ini.  

Salah Satu Karya Pameran Bundengan
oleh Tiyar 2018
Terimakasih kepada Mas Thoyib

Komentar

Postingan Populer